http://saaqinah.blogspot.com/p/alhamdulillah.htmlwww.saaqinah.blogspot.comhttp://www.saaqinah.blogspot.com/2013/12/tutorial-blog-unyu-unyu.html#morehttp://saaqinah.blogspot.com/p/blog-page_23.htmlhttp://saaqinah.blogspot.com/p/komputer.htmlhttp://saaqinah.blogspot.com/p/catatan-muslimah.htmlhttp://saaqinah.blogspot.com/p/unduh.html

Ketika Muslimah Dipuji


             Secara fitrah manusia, pastilah senang jika dirinya dipuji. Saat pujian datang -apalagi dari seseorang yang istimewa dlm pandangannya- tentulah hati akan bahagia jadinya. Berbunga-bunga, bangga, senang. Itu manusiawi. Namun hati-hatilah duhai saudariku, jangan sampai riya’ menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan. Niat yang ikhlas amatlah diperlukan dlm setiap amal ibadah karena ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah. Sebuah niat dapat mengubah amalan kecil menjadi bernilai besar di sisi Allah & sebaliknya, niatpun mampu mengubah amalan besar menjadi tak bernilai sama sekali.Kali ini, kita tak hendak membahas tentang ikhlas melainkan salah satu lawan dari ikhlas, yaitu riya’. Hudzaifah Ibnu Yaman pernah berkata: “Orang-orang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang baik sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal jelek agar aku terhindar dari kejelekan tersebut.” (HR Bukhari & Muslim)


Maka saudariku muslimah, marilah kita mempelajari tentang riya’ agar kita terhindar dari kejelekannya.

Mari Kita Berbicara tentang Riya’


Secara bahasa, riya’ berasal dari kata ru’yah (الرّؤية), maknanya penglihatan. Sehingga menurut bahasa arab hakikat riya’ adalah orang lain melihatnya tak sesuai dgn hakikat sebenarnya.

Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Riya’ ialah menampakkan ibadah dgn tujuan agar dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amal tersebut.”

Pernahkah ukhti mendengar tentang sum’ah? Sum’ah berbeda dgn riya’, jika riya’ adalah menginginkan agar amal kita dilihat orang lain, maka sum’ah berarti kita ingin ibadah kita didengar orang lain. Ibnu Hajar menyatakan: “Adapun sum’ah sama dgn riya’. Akan tetapi ia berhubungan dgn indera pendengaran (telinga) sedangkan riya’ berkaitan dgn indera penglihatan (mata).”

Jadi, jika seorang beramal dgn tujuan ingin dilihat, misalnya membaguskan & memperlama shalat karena ingin dilihat orang lain, maka inilah yang dinamakan riya’. Adapun jika beramal karena ingin didengar orang lain, seperti seseorang memperindah bacaan Al Qur’annya karena ingin disebut qari’, maka ini yang disebut sebagai sum’ah.
Bahaya Riya’

Ketahuilah wahai saudariku, bahwa riya’ termasuk ke dlm syirik asghar/kecil. Ia dapat mencampuri amal kita kemudian merusaknya.
Amalan yang dikerjakan dgn ikhlas akan mendatangkan pahala. Lalu bagaimana dgn amalan yang tercampur riya’? Tentu saja akan merusak pahala amalan tersebut. Bisa merusak salah satu bagiannya saja atau bahkan merusak keseluruhan dari pahala amalan tersebut.

Berikut ini beberapa bentuk riya’:

Riya’ yang mencampuri amal dari awal hingga akhir, maka amalannya terhapus.
Misalnya seseorang yang hendak mengerjakan shalat lalu datang seseorang yang ia kagumi. Kemudian ia shalat dgn bagus & khusyu’ karena ingin dilihat orang tersebut. Riya’ tersebut ada dari awal hingga akhir shalatnya & ia tak berusaha utk menghilangkannya, maka amalannya terhapus.

Riya’ yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah amal & dia berusaha utk menghilangkannya sehingga riya’ tersebut hilang, maka riya’ ini tak mempengaruhi pahala amalannya. Misalnya seseorang yang shalat kemudian muncul riya’ di tengah-tengah shalatnya & ia berusaha utk menghilangkannya sehingga riya’ tersebut hilang, maka riya’ tersebut tak mempengaruhi ataupun merusak pahala shalat tersebut.

Riya’ muncul tiba-tiba di tengah-tengah namun dibiarkan terus berlanjut, maka ini adalah syirik asghar & menghapus amalannya. Namun dlm kondisi ini ulama berselisih pendapat tentang amalan mana yang terhapus, misalnya riya’ dlm shalat. Apakah rakaat yang tercampuri riya’ saja yang terhapus ataukah keseluruhan shalatnya?

Pendapat pertama menyatakan bahwa yang terhapus hanyalah pada amalan yang terkait. Pendapat kedua, yaitu perlu dirinci:

    Kalau amalannya merupakan satu rangkaian & tak mungkin dipisahkan satu dgn yang lain, misalnya shalat dhuhur empat rakaat, maka terhapus rangkaian amal tersebut.
    Kalau amalannya bukan merupakan satu rangkaian, maka amal yang terhapus pahalanya adalah sebatas yang tercampuri saja. Misalnya seseorang yang bersedekah kepada sepuluh orang anak yatim. Saat bersedekah pada anak kesatu sampai yang kelima ia ikhlas. Akan tetapi riya’ muncul saat ia bersedekah pada anak ke-enam, maka pahala yang terhapus adalah sedekah pada anak ke-enam. Contoh yang serupa adalah puasa.

Riya’ itu Samar

Pada asalnya, manusia memiliki kecenderungan ingin dipuji & takut dicela. Hal ini menyebabkan riya’ menjadi sangat samar & tersembunyi. Terkadang, seorang merasa telah beramal ikhlas karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus kedalam penyakit riya’.
Saudariku, pernahkah engkau mendengar langkah laki seekor semut? Suara langkahnya begitu samar bahkan tak dapat kita dengar. Seperti inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesamaran riya’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kesyirikan itu lebih samar dari langkah kaki semut.” Lalu Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kesyirikan itu ialah menyembah selain Allah atau berdoa kepada selain Allah disamping berdoa kepada selain Allah?” maka beliau bersabda.”Bagaimana engkau ini. Kesyirikan pada kalian lebih samar dari langkah kaki semut.” (HR Abu Ya’la Al Maushili dlm Musnad-nya, tahqiq Irsya Al Haq Al Atsari, cetakan pertama, tahun 1408 H, Muassasah Ulum Al Qur’an, Beirut, hlm 1/61-62. dishahihkan Al Albani dlm Shahih Al Targhib, 1/91)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan bahaya riya’ atas umat Islam melebihi kekhawatiran beliau terhadap bahaya Dajjal. Disebutkan dlm sabda beliau: “Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Dajjal.” Kami menyatakan, “Tentu!” beliau bersabda “Syirik khafi (syirik yang tersembunyi). Yaitu seseorang mengerjakan shalat, lalu ia baguskan shalatnya karena ia melihat ad seseorang yang memandangnya.”
Hal ini tak akan terjadi, kecuali karena faktor pendukung yang kuat. Yaitu karena setiap manusia memiliki kecenderungan ingin mendapatkan pujian, kepemimpinan & kedudukan tinggi di hadapan orang lain.
Bentuk Riya’

Wahai ukhti muslimah, didalam mencapai tujuannya, para mura’i (orang yang riya’) menggunakan banyak jalan, diantaranya sebagai berikut:

    Dengan tampilan fisik, yaitu seperti menampilkan fisik yang lemah lagi pucat & suara yang sangat lemah agar dianggap sebagai orang yang sangat takut akhirat atau rajin berpuasa.
    Dengan penampilan, yaitu seperti membiarkan bekas sujud di dahi & pakaian yang seadanya agar tampil seperti ahli ibadah. Ketika menjelaskan QS Al Fath, dlm Hasyiah Ash Shawi 4/134 disebutkan, “Yang dimaksud ‘bekas sujud’ bukanlah hitam-hitam di dahi sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang ingin riya’ karena hitam-hitam di dahi merupakan perbuatan khawarij.”Dengan perkataan, yaitu seperti banyak memberikan nasehat, menghafal atsar (riwayat salaf) agar dianggap sebagai orang yang sangat memperhatikan jejak salaf.

    Dengan amal, yaitu seperti memperlama rukuk & sujud ketika shalat agar tampak khusyu’ & lain-lain.

Kiat Mengobati Penyakit Riya’

Wahai saudariku, setiap insan tak akan pernah lepas dari kesalahan. Sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang pernah dilakukannya.

Hati manusia cepat berubah. Jika saat ini beribadah dgn ikhlas, bisa jadi beberapa saat kemudian ikhlas tersebut berganti dgn riya’. Pagi ikhlas, mungkin sore sudah tidak. Hari ini ikhlas, mungkin esok tidak. Hanya kepada Allahlah kita memohon agar hati kita diteguhkan dlm agama ini. َ

Selain itu, hendaknya kita berusaha utk menjaga hati agar terhidar dari penyakit riya’. Saudariku, inilah beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar terhindar dari riya’:

    Memohon & selalu berlindung kepada Allah agar mengobati penyakit riya’Riya’ adalah penyakit kronis & berbahaya. Ia membutuhkan pengobatan & terapi serta bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya bisa menolak bisikan riya’, sambil tetap meminta pertolongan Allah Ta’ala utk menolaknya. Karena seorang hamba selalu membutuhkan pertolongan & bantuan dari Allah. Seorang hamba tak akan mampu melakukan sesuatu kecuali dgn bantuan & anugerah Allah. Oleh karena itu, utk mengobati riya’, seorang selalu membutuhkan pertolongan & memohon perlindungan kepada-Nya dari penyakit riya’ & sum’ah. Demikian yang diajarkan Rasulullah dlm sabda beliau:

    “Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia lebih samar dari langkah kaki semut.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara diri darinya padahal ia lebih samar dari langkah kaki semut?” beliau menjawab, “Katakanlah:

    اللّهُمَّ إِنَّانَعُوْذُبِكَ مِنْ أََنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًانَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ

    ‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tak kami ketahui.’” (HR. Ahmad)
    Mengenal riya’ & berusaha menghindarinyaKesamaran riya’ menuntut seseorang yang ingin menghindarinya agar mengetahui & mengenal dgn baik riya’ & penyebabnya. Selanjutnya, berusaha menghindarinya. Adakalanya seorang itu terjangkit penyakit riya’ disebabkan ketidaktahuan & adakalanya karena keteledoran & kurang hati-hati.
    Mengingat akibat jelek perbuatan riya’ di dunia & akhiratDuhai saudariku di jalan Allah, sifat riya’ tidaklah memberikan manfaat sedikitpun, bahkan memberikan madharat yang banyak di dunia & akhirat. Riya’ dapat membuat kemurkaan & kemarahan Allah. Sehingga seseorang yang riya’ akan mendapatkan kerugian di dunia & akhirat.
    Menyembunyikan & merahasiakan ibadahSalah satu upaya mengekang riya’ adalah dgn menyembunyikan amalan. Hal ini dilakukan oleh para ulama sehingga amalan yang dilakukan tak tercampuri riya’. Mereka tak memberikan kesempatan kepada setan utk mengganggunya. Para ulama menegaskan bahwa menyembunyikan amalan hanya dianjurkan utk amalan yang bersifat sunnah. Sedangkan amalan yang wajib tetap ditampakkan. Sebagian dari ulama ada yang menampakkan amalan sunnahnya agar dijadikan contoh & diikuti manusia. Mereka menampakkannya & tak menyembunyikannya, dgn syarat merasa aman dari riya’. Hal ini tentu tak akan bisa kecuali karena kekuatan iman & keyakinan mereka.
    Latihan & mujahadahSaudariku, ini semua membutuhkan latihan yang terus menerus & mujahadah (kesungguhan) agar jiwa terbina & terjaga dari sebab-sebab yang dapat membawa kepada perbuatan riya’ bila tidak, maka kita telah membuka pintu & kesempatan kepada setan utk menyebarkan penyakit riya’ ini ke dlm hati kita.

Belajar dari Para Salaf

Duhai muslimah, berikut ini adalah kisah salaf yang menunjukkan betapa mereka menjaga diri dari riya’ & sum’ah. Mereka tak menginginkan ketenaran & popularitas. Justru sebaliknya, mereka ingin agar tak terkenal. Mereka memelihara keikhlasan, mereka takut jika hati mereka terkena ujub (bangga diri).

Abu Zar’ah yahya bin Abu ‘Amr bercerita: Pernah Adh-Dhahhak bin Qais keluar utk memohon hujan bersama-sama dgn orang-orang, tapi ternyata hujan tak turun & beliau juga tak melihat awan. Beliau berkata: “Dimana gerangan Yazid bin Al Aswad?” (dalam satu riwayat: tak seorang pun yang menjawab pertanyaan beliau. Beliau pun bertanya lagi: “Dimana Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi? Jika beliau mendengar, saya sangat berharap beliau berdiri.”) “Ini saya”, seru Yazid. “Berdirilah & tolonglah kami ini di hadapan Allah.

Jadilah kamu perantara(*) kami agar Allah menurunkan hujan kepada kami.”, kata Adh-Dhahhak bin Qais. Kemudian Yazid pun berdiri seraya menundukkan kepala sebatas bahu serta menyingsingkan lengan baju beliau kemudian berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya hamba-hamba-Mu ini memohon syafaatku kepada-Mu.” Beliau berdoa tiga kali & seketika itu pula turunlah hujan yang sangat deras sehingga hampir terjadi banjir. Kemudian beliau pun berkata: “Sesungguhnya kejadian ini membuat saya dikenal banyak orang. Bebaskanlah saya dari keadaan seperti ini.” Kemudian hanya berselang satu hari, yaitu Jum’at setelah peristiwa itu beliau pun wafat. (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) & Al Fasawi (2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).

(*) Dalam keadaan ini, meminta perantara dlm berdo’a diperbolehkan, karena Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi yang menjadi perantara masih dlm keadaan hidup, & beliau adalah seorang yang shaleh. Bedakan dgn keadaan orang-orang yang berdo’a meminta kepada orang yang dianggap shaleh yang sudah meninggal dunia di kubur-kubur mereka! & ini merupakan Syirik Akbar yang membuat pelakunya kekal di neraka jika belum bertaubat.

Berkata Hammad bin Zaid rahimahullah: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub tapi beliau melewati jalan-jalan yang membuat diriku heran & bertanya-tanya kenapa beliau sampai berbuat seperti ini (berputar-putar melewati beberapa jalan). Ternyata beliau berbuat seperti itu karena beliau tak mau orang-orang mengenal beliau & berkata: ‘Ini Ayyub, ini Ayyub! Ayyub datang, Ayyub datang!’” (Riwayat Ibnu Sa’ad & lainnya).

Hammad berkata lagi: “Ayyub pernah membawa saya melewati jalan yang lebih jauh, maka sayapun berkata: ‘Jalan ini lebih dekat!’ Beliau menjawab: ‘Saya menghindari kumpulan orang-orang di jalan tersebut.’ Dan memang apabila dia memberi salam, akan dijawab oleh mereka dgn jawaban yang lebih baik dari jawaban kepada yang lainnya. Dia berkata: ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tak menginginkannya! Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tak menginginkannya!’” (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) & Al Fawasi (2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).

Kita berlindung kepada Allah dari penyakit riya’. Semoga Allah menjadikan kita seorang mukhlishah, senantiasa berusaha utk menjaga niat dari setiap amalan yang kita lakukan. Innamal ‘ilmu ‘indallah.

Penyusun: Ummu Aiman

Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar

Maraji’:

Terjemah Sittu Duror, Landasan Membangun Jalan Selamat. ‘Abdul Malik Ahmad Ramdhani. Media Hidayah. Cetakan pertama. 2004.

Mutiara Faidah Kitab Tauhid Syaikh Muhammad At Tamimi. Abu ‘Isa ‘Abdullah bin Salam. Cetakan pertama. LBIA Al Atsary.

Majalah As-Sunnah edisi 05/ VIII/ 1425H/ 2004M.


Artikel www.muslimah.or.id

sumber: www.muslimah.or.id

No comments:

Post a Comment